Minggu, 14 Agustus 2011

Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi

AnehAjaib. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, namanya telah terpatri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancur-leburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Shalahuddin

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Siratun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.

Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam. Seorang penulis Barat berkata, “Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan.

Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin”.

“Setiap cara dan jalan ditempuh”, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa. Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali.

Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus. “Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatankejahatan dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar” demikian tulis pengarang Perancis Michaud.

Knight of Templar

Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan.

Mereka melupakan Konstantin dan Jerussalem dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka lalui” kata Marbaid. Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill “terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya. Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.

John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: “Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu.

“Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,” kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan. Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.

Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

Salahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.

Asaduddin Sherkoh

Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai tinggi.

Ibnu Aziz Al Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: “Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda”.

Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifatsifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir.

Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu.

Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar.

Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu. Sultan Shalahuddin memanjatkan syukur yang dalam atas kegemilangan tersebut. Ia merebut salib yang mereka klaim sebagai salib Nabi Isa. Salib besar itu berhias emas, mutiara, dan permata. Dia bangun tenda besar dan dipasang di dalamnya singgasana raja berhias bunga-bunga di kedua sisinya.

Shalahuddin mendudukkan para raja terbesar Salibis disamping kanan kirinya sesuai nomor urut mereka. Ia memberikan air es sebagai minum raja-raja tersebut. Namun saat raja Perancis Bernas merebut air itu dan hendak meminumnya, Shalahuddin naik darah dan berteriak lantang, “Aku tidak memberi minum kepadanya!! Karena aku tidak punya perjanjian dengannya!!” Karena kelaliman Bernas selama ini, Shalahuddin tidak memberi grasi kepadanya. Ditawarkannya untuk masuk Islam agar terhindar dari hukuman, namun Bernas menolaknya.

Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil berkata, “Aku adalah duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya.” Kepala Bernas dikirim ke setiap tenda tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, “Ini sebab karena dulu ia melecehkan Rasulullah SAW.” Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji, Bernas pernah berkata, “Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian!”

Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.

Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: “Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan.” Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya. Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin.

Perang Hittin merupakan perang yang menjadi titik balik dominasi kaum muslim di Jerusalem. Kejeniusan dan kepemimpinan Sultan Shalahuddin (Saladin) sangat tercermin dalam perang ini. Kekalahan pasukan Kristen di perang ini, memicu kedatangan Raja Richard dari Inggris dan melengkapi episode legendaris perang salib. Saladin merasa sudah saatnya kaum Kristen diusir dari tanah Muslim.

Seruan Saladin mendapat sambutan yang luarbiasa. Ribuan kavaleri dan infanteri membanjiri Damaskus dari seluruh penjuru kerajaan. Damaskus penuh sesak oleh prajurit-prajurit dan bendera-bendera yang berkibar, dikelilingi oleh ribuan tenda yang menjadi tempat berteduh para prajurit. Untuk pertama kali selama berabad-abad, kaum Muslim memobilisasi secara penuh untuk jihad dengan efektif. Kaum Muslim terlihat siap dan mampu untuk menghancurkan pasukan Kristen Pada tahun 1183, Saladin memulai gerakannya untuk membebaskan Palestina dari tentara Salib. Pasukan Saladin menyeberangi Yordania dan menyerbu Galilea. Guy dari Lusignan, yang kini menjadi wali Kerajaan Jerussalem, segera saja memobilisasi tentaranya. Kedua pasukan kemudian berkemah berhadap-hadapan di kolam Goliath.

Kelompok elang (pro perang) mendesak untuk segera menyerang. Usulan kelompok elang ini ditentang oleh Baldwin yang memerintahkan untuk bertahan. Tindakan menyerang Saladin lebih dulu adalah konyol mengingat jumlah pasukan Saladin yang jauh lebih besar dibandingkan tentara Salib. Walau menang jumlah, Saladin tidak akan mampu mempertahankan keberadaan pasukannya dalam waktu lama di lingkungan yang tidak ramah.

Para tentara Muslim ini harus pulang untuk memanen hasil pertaniannya. Saladin sebenarnya sudah memancing tentara Kristen untuk bertempur, tapi mereka tetap tenang sehingga memaksa Saladin dan pasukannya untuk mundur. Saladin kemudian menyerukan jihad besar-besaran melawan kaum Kristen. Saladin kemudian memasang jebakan dan berdoa agar kaum Kristen bisa masuk dalam perangkapnya. Pada tanggal 1 Juli, Saladin membawa pasukannya melalui Yordania menuju Galilea. Setengah pasukan berkemah di dekat danau dan setengahnya lagi menyerang Tiberias yang dapat direbut hanya dalam waktu 1 jam pertempuran. Saat itu Raymund dan anaknya tengah berada di Sephoria, sedangkan istrinya masih di rumahnya di Tiberias. Para pimpinan orang Kristen di Sephoria berdebat, apa yang harus mereka lakukan. Kelompok elang mengusulkan untuk langsung menyerang dan kelompok merpati yang dipimpin oleh Raymund mengusulkan untuk bertahan. Raymund tahu rencana Saladin. Walaupun Tiberias adalah kotanya sendiri, Raymund rela kehilangan untuk sementara waktu. Raymund juga tidak mengkhawatirkan keselamatan istri dan penduduk Tiberias karena perilaku Saladin yang penuh belas kasih. Paling-paling mereka dibawa ke Damaskus dan bisa ditebus di lain hari. 

Seperti biasa, Raja Guy bimbang memutuskan jalan mana yang harus ditempuh. Guy kemudian mendengarkan Gerard yang berhasil melarikan diri dari serangan bodoh bunuh dirinya di Cresson. Gerard mencerca Raymund yang sudah dianggapnya sebagai pengkhianat. Guy memerintahkan pasukannya untuk berbaris menuju Tiberias. Orang Kristen sudah masuk jebakan yang dipasang oleh Saladin. Tentara Kristen berjalan menyeberangi lembah-lembah Galilea dalam musim panas yang terik. Mereka terbebani oleh pakaian dan peralatan tempur yang berat. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu beberapa jam akhirnya harus ditempuh seharian. Saladin mengirimkan pemanah-pemanah jitu untuk mengikuti mereka dari kejauhan, mengincar tentara-tentara yang terpisah sendirian.

Saladin juga sudah mengeringkan mata air dan sumur yang akan dilewati tentara Kristen sehingga banyak diantara tentara Kristen ini menjadi setengah gila karena kehausan. Akhirnya mereka tiba di Galilea dengan kondisi yang sangat lelah dan menyadari bahwa perkemahan pasukan Muslim telah menutup akses mereka ke sumber air. Beberapa baron mendesak Raja Guy untuk bergerak merebut danau dari Saladin, tapi rupanya Raja Guy memutuskan berkemah semalam karena merasa kasihan melihat penderitaan prajuritnya seharian. Tentara Kristen berkemah di lereng dekat lembah yang disebut dengan Tanduk Hittin, tempat Yesus mengkhotbahkan agama damai dalam Khotbah Di atas Bukit. Tentara Kristen menyangka akan ada satu mata air di lereng bukit tersebut, tapi sesampainya di sana satu-satunya sumur itu pun sudah kering.

Malam itu pasukan Salib tidak bisa tidur karena kekurangan air. Beberapa orang karena kebodohannya menuruni plateau mencari air, untuk kemudian menerima nasib malang mereka, ditangkap dan dihabisi oleh pasukan muslim. Untuk menambah penderitaan yang sudah ada pasukan muslim membakar rerumputan dan belukar yang ada disekitar perkemahan pasukan Salib. Seluruh kawasan perbukitan itu menyala terbakar menambah udara panas yang sudah tidak tertahankan, api menjilati tepi-tepi perkemahan dan pasukan berzirah justru yang paling menderita.

Belum lagi suara sorak sorai dari pasukan Muslim yang makin menambah turunnya mental tentara Kristen. Malam itu adalah salah satu dari 10 malam terakhir Ramadhan, yang bisa saja adalah malam lailatul qodar, malam yang lebih baik dari seribu bulan dan menjadikan ajang untuk membunuh yang dia anggap suci karena atas nama Tuhan terlebih di hari yang di anggap suci. Sebelum malam berakhir, Saladin memerintahkan pasukannya untuk menyebar secara diam-diam mengepung perkemahan tentara Kristen. Setelah fajar menyingsing, pasukan Muslim langsung mengepung perkemahan tentara Kristen.

Begitu ketat pengepungan itu, sejarawan dari pasukan Salib menuliskan di dalam catatannya, “Bahkan kucing pun tidak akan dapat lolos dari jerat itu.” Ketika fajar menyingsing, serunai dari pasukan muslim berbunyi menandakan serbuan dimulai. Pasukan Salib yang terkepung menyerang dengan membabi-buta. Melihat pasukan Kristen menyerang, pasukan Shalahuddin tidak membalas. Mereka malah membuka barisan mereka membentuk huruf “U” membiarkan pasukan Salib lewat. Begitu bukaan itu ditutup kembali, maka pasukan Salib itu menemukan ajal mereka.

Pasukan infanteri Kristen yang panik dan hanya memikirkan air, bergerak turun setelah melihat kilauan air laut Galilea. Mereka kemudian dihalau oleh pasukan Muslim dan menimbulkan banyak korban yang mati dengan mulut menghitam karena kehausan. Pasukan kavaleri pimpinan Raymund berhasil menembus kepungan pasukan Muslim, tetapi kepungan kembali rapat setelah Raymund berhasil keluar sehingga pasukan kavalerinya terpisah dengan pasukan induknya. Raymund berhasil lolos dan terhindar dari kematian.

Kavaleri pasukan Muslim terus menyerang perkemahan tentara Kristen dan akhirnya Saladin dan anaknya Al-Afdlal melihat kemah Raja Kerajaan Jerusalem Guy, tempat sang raja berlindung, telah roboh rata dengan tanah. Al-Afdlal berkata, “Ayahku kemudian turun dari pelana kuda dan kemudian bersujud di tanah, bersyukur kepada Allah dengan tangis kebahagiaan.” Tentara Kristen kalah telak, dan Kerajaan Kristen Jerusalem telah tumpas.

Saladin berhasil mengusir tentara salib dari bumi Palestina. Setelah pertempuran berakhir, Saladin mempunyai dua tawanan penting yang langsung dibawa ke tendanya yaitu Raja Guy dan Reynauld. Kedua tawanan itu benar-benar sudah kelelahan dan putus asa karena kehausan. Saladin memberikan sekantung air yang diberi es dari salju gunung Hermon kepada Raja Guy yang kemudian meminumnya.

Setelah puas, Raja Guy memberikan kantung air kepada Reynauld. Ketika Reynauld akan meminumnya, Saladin menegaskan bahwa dia tidak mengizinkan Reynauld untuk ikut meminum. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab waktu itu untuk tidak membunuh lelaki yang telah diberi makan dan minum olehnya.

Teringat akan sumpahnya untuk membunuh Reynauld dengan tangannya sendiri karena begitu banyaknya kejahatan Reynauld terhadap kaum Muslim, Saladin kemudian memenggal kepala Reynauld dan menyeret mayatnya di ke Raja Guy yang ketakutan setengah mati. Kepada Guy, Saladin dengan tersenyum berkata bahwa seorang raja tak akan membunuh raja yang lain. Saladin kemudian menjelaskan dengan baik-baik bahwa Reynauld dipenggal karena kejahatan-kejahatannya yang begitu besar.

Raja Guy kemudian dibawa ke Damaskus dan tak lama kemudian dibebaskan. Disini begitu jelas Saladin sanga amat bijaksana. Dia tau yang menyebabkan perang bukan agama. Tapi uang dimana Yerusalem di jadikan tempat bisnis dari tentara salib. Dan menjadikan bank di sana di bawah ordo Templar. Kisah ini begitu terkenal karena dengan sempurna menggambarkan sikap Saladin yang penuh belas kasih. Ini adalah hal baru dalam sebuah perang suci menurut pandangan orang Kristen.

Saladin tidak ingin membantai seluruh orang Kristen tanpa pandang bulu, sebagaimana orang Kristen dengan semangat Yoshua menaklukkan Palestina yang membantai seluruh kaum kanaan, filistin. Kejadian ini telah membuktikan bahwa semangat jihad fi sabilillah tidak akan membabibuta membunuh semua musuhnya, bahkan ada aturan-aturan yang sangat ketat di dalamnya.

Walau tak semua orang Kristen dibunuh, Saladin membunuh semua ksatria dari Ksatria Kuil (Knights of Templar) dan semua ordo-ordo militer karena merekalah yang paling berdedikasi untuk memerangi Islam selama ini. Jika orang-orang seperti Reynauld atau para ksatria ini dibebaskan, mereka pasti akan menghimpun kekuatan untuk kembali berbuat kejahatan terhadap kaum Muslim. Membunuhnya semua adalah sebuah tindakan penyelamatan.

Di dalam pasukan salib memang ordo Templar terkenal karena sistem perbankan yang mereka ciptakan. Dan juga bentuk penyembahan mereka kepada setan, disini lah akhirnya ordo Templar yang tadinya membela Kristus berubah menjadi Anti Kristus. Dan mereka juga di buru oleh pemerintahan Kristen. Namun banyak juga yang lolos.

Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu. Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193.

Kaum Kristen waktu itu betul-betul putus asa dan ketakutan. Ini cukup masuk akal. Beberapa ribu orang Kristen yang berkumpul di Yerusalem tak akan mampu menandingi kekuatan pasukan Muslim. Apalagi kesatuan-kesatuan militer yang solid sudah dihancurkan di pertempuran Hittin. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang sipil. Orang-orang Kristen sangat ketakutan jika Saladin akan membalas dendam dengan membantai semua orang Kristen. Akan tetapi kenyataannya, dalam penaklukan ini tak seorang Kristen pun yang dibunuh dan tak ada penjarahan samasekali. Tebusan sengaja ditetapkan dengan amat rendah, namun tetap saja ribuan kaum miskin tak bisa membayarnya. Karena terharu akan penderitaan mereka, Saladin banyak membebaskan mereka dengan cuma-cuma.

Saudara Saladin, Al-Adil meminta seribu orang untuk dipergunakan sendiri. Setelah diizinkan, Al-Adil yang juga tersentuh dengan penderitaan tawanan ini kemudian langsung membebaskan begitu saja di tempat. Kaum Muslim waktu itu begitu terkejut menyaksikan begitu banyaknya kaum Kristen kaya yang melarikan diri dengan membawa harta benda mereka. Jika dikumpulkan sebenarnya harta itu bisa untuk menebus seluruh tawanan. Ketika Imaduddin melihat Uskup Agung Heraclius kabur dengan membawa kereta yang penuh harta, ia mendesak Saladin untuk menyita hartanya. Tapi Saladin menolaknya karena Al Qur’an menyatakan penting sekali untuk menaati sumpah dan perjanjian. Kata Saladin, “Orang Kristen di mana pun akan mengingat kebaikan yang telah kita lakukan kepadanya."

Begitu ia berada di Jerussalem, Saladin kemudian membersihkan tempat-tempat suci yang telah lama dicemari. Bait Allah (Temple Solomon) selama ini telah dijadikan markas besar Ksatria Kuil (Knights of Templar). Mereka membuat asrama di sekeliling Bait Allah dan menjadi sebagian Bait Allah menjadi gudang dan kakus. Di atas kubah batu, ada sebuah salib emas raksasa yang kemudian segera diturunkan. Ibnu Al-Atsir menulis, “Ketika mereka mencapai puncak, sebuah teriakan keras terdengar. Kaum Muslim meneriakkan Allahu akbar dalam kegembiraan mereka.” Di dalam masjid besar, batu besar tempat Ibrahim AS mengikat Ishak dan tempat Rasullah SAW berpijak waktu Isra’ Miraj, ditutupi oleh orang-orang Kristen dengan marmer.

Setelah kehancuran bala-tentara Salib pada Perang Hittin dalam Perang Salib yang Ketiga mereka tinggal menguasai tiga kerajaan, yakni Tyre, Tripoli, dan Antiochia, dan sesudah itu bala-tentara Salib tidak mampu lagi menghimpun kekuatan yang berarti untuk merebut kembali Jerusalem.

Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.

Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid.

Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat, mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacau-balauan kaum penyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri.

Raymond d’ Angiles (dipenggal kepalanya usai perang hittin) yang menyaksikan peristiwa itu  mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit. Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh.

Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat. 

Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang biadab itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.

Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: Stelah rapat, diputuskan bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-lapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.

Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekitar satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas. Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunab kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula angkutan. Sejumlah wanita Nasrani dengan menggendong anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup. Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. 

Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebelumnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.

Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud memberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud.  Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya, kata Michaud.

Sebaliknya, Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya. Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan.

Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dari damaskus, dia harus segera pulang ke Eropa.

Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais. Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa.

Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.

Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan aliansi dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib.

Karena kelambatan dalam penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin. Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.

Akhirnya Richard Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai di Ramla yang diterima oleh Sultan, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.

Berakhirlah serbuan tentara Salib itu tulis Michaud di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih dari kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib meninggalkan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.

Dalam kemiliteran Shalahuddin dikagumi ketika Richard cidera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya. Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193.

“Hari itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafaur Rasyidin” demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana, seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.

Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan belum ada tandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perang, kuda dan uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih tersimpan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sependapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. Di Eropa tulis Philip K. Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum ksatria.



Semoga Allah memberikan tempat yang layak disisiNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google