Rabu, 10 Agustus 2011

Behavioralisme

AnehAjaib. Politik yang mengangkat substansi maknanya pada “Siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana“ telah menjadi mediasi ruang konsepsi yang begitu luas dan massiv untuk mengformulasi berbagai pemahaman tentang ilmu politik pada skala pembicaraan seperti diatas maka akan melahirkan banyak variabel rasionalitas dan legalitas ilmu yang berkorelasi secara positif dengan ilmu politik baik dalam taraf abstraksi konseptual teoritik maupun metodologi praktik keharusan bagi para ilmuwan politik untuk ikut urgen dalam menganalisis, memecahkan dan merekayasa sistem sosial beserta masalahnya hamoir tidak lepas dari asumsi dasar yang termaknakana pada politik yaitu “Kekuasaan” dan kata inilah yang menjadi spirit statemen diatas.

Politik secara khusus menuntut pemahaman tentang kekuasaan. Bukan kekuasaan secara pribadi melainkan juga kekuasaan secara kolektif, sosial dan masyarakat dalam berbagai aspek. Kelahiran kekuasaan tidak lepas dari kebudayaan politik yang dianut oleh para aktor politik baik secara individu maupun secara kolektif (Colectif Behavior) yang memberikan pedoman dan orientasi pemikiran, prioritas kepentigan mereka, cita-cita mereka, kebijaksanaan normatif dan konvensional mereka yang diterapkan dalam kehidupan sistem sosial politiknya. 

Ketika demokrasi dalam konsepsi dan praktek mulai berkecambah tidak hanya dalam taraf formal namun juga substansial. Individu, kelompok, partai dan negara beserta segala mesin politiknya menjadi wacana politik yang tentatif, terbuka, rasional dan fleksibel. Konsepsi tercanggih dan mumpuni secara politik yang dibuat dan disepakati olehmanusia secara umum sekarang ini adalah demokrasi yang intinya bertumpu pada gagasan bahwa setiap orang lebih mampu memahami masalahnya dibandingkan dengan orang lain sehingga yang memimpin dalam memperoleh kekuasaanya harus berdasarkan rasionalitas,kecerdasan kolektif kelompoknya dan kelompok yang dipimpinya sampai pada taraf praksis.

Pada awalnya yang berkembang adalah pendekatan “Tradisional institusional” yang mengkaji ilmu politik pada persoalan politik kenegaraan, perbandingan politik, partai politik, konstitusi dan streessing kajianya pada sejarah, hukum, kelompok kepentingan, metode deskriptif dan komparatif. Fokus pembicaraanya banyak dicurahkan pada negara beserta mesin politiknya. Keterbelakangan wacana dalam pendekatan ini melahirkan pendekatan lain yaitu pendekatan “Behavioral” dimana mengkaji persoalan ideologi individu dan kelompok, stereoptik pemikiran politik, tingkat kesadaran politik, institusi sosial politik diluar institusi formal politik, hukum moral konvensinal sosial, peran masyarakat dan individu dalam politik dalam bentuk pendapat umum, pemilihan umum, koalisi politik, kekerasan politik. Pendekatan terakhir yaitu pendekatan “Postbehavioral” sebuah gerakan yang muncul di Amerika pada pertengahan dekade enam puluhan ketika pengaruh berlangsungnya perang Vietnam dan kemajuan-kemajuan tekhnologi persenjataan dan diskriminasi ras yang sangat tajam dan melahirkan gejolak sosial yang luas dan massiv. Gerakan protes ini terpengaruh oleh tulisan-tulisan cendekiawan seperti: Jean Paul Sartre, Wright Mills, Herbert Marcuse dll.

Reaksi Postbehavioralisme terutama ditujukan kepada usaha untuk mengubah penelitian dan pendidikan ilmu pendidikan ilmu politik menujadi suatu ilmu pengetahuan yang murni seperti pola lmu eksakta.

PENDEKATAN BEHAVIORAL

Kaum institusionalis berpendapat bahwa kendati sistem pemilihan, bentuk perwakilan parlementer dan presidentil pengawasan,pembagina ataukan pemisahan kekuasaan semuanya itu dibutuhkan tetapi tidak menjadi jaminan bahwa proses politik dalam sistem politik tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya. Suatu pemerintahan konstitusional dan institusionalis ternyata tidak mampu mempersatukan prilaku politik baik individu maupun kelompok yang tidaki stabil, tertib dan terpecah-pecah pada setiap medan sistem politik. 

Lahirnya pendekatan tingkah-laku (Behavioral) mengutamakan perhatianya kepada tindakan politik individu, hubungan pengetahuan, budaya politik terhadap tindakan politik, termasuk bagaimana pendapat politik terbentuk, ketajaman politik diperoleh, serta cara masyarakat memahami fenomena politik yang biasanya mengacu pada ideologi, sistem kepercayaan yang melahirkan pola prilaku yang penuh arti, imanen, konsisten bahkan kadang fanatis. Asal – usul behavioralisme yang menenkankan masalah prilaku tidak lepas dari raja filsafat Skeptis David Hume, filsafat pragmatis William James (1842-1914) yang menenkankan voluntarisme dan empirisme, tindakan individu, serta hubungan antara kesadaran dan tujuan.

TOKOH, PEMIKIRAN DAN KARYA

Prinsip aliran behavioral berada pada filsafat praksis yang mencoba membentuk kebenaran filsafat praksis yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal tetapi pada observasi pengalaman.

David Easton karyanya adalah “General System Analysis” dan Saint Simon dengan karyanya “Encyclopedia of Unified Science “. Inti pemikiran mereka adalah: Pemikir ini berusaha mengisi kekosongan filsafat yang ditinggalkan oleh institusionalisme dengan berusaha menjawab pertanyaan “kenapa” mengenai politik melalui penjelasan tindakan individu yang mencoba menempatkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan prilaku manusia secara utuh terhadap politik dan lebih memberikan data empiris.

Graham Wallas (1858 – 1932), karyanya “Human nature In Politics”(London: Constauble, 1908) Pemikiranya pada pergeseran titik stressing dari model ekonomi politik ke psikologi politik yang mengkaji tentang masalah bagaimana sikap dan pendapat serta pengaruh pembagian kerja terhadap kepribadian individu.

Harold D. Laswell, karyanya “ Psychopatology and Politics “ (Chicago,1930). Pemikiranya secara khusus mencangkokkan pemikiran Sigmund Freud kedalam teori psikologi dan politiknya dan lebih menekankan pada interaksi kelompok, ketegangan sosial, frustasi dan agresi dalam politik.

Abraham Kaplan, karyanya “The Conduc of Inguiry”(San Fransisco: 1964) Stressingnya adalah menggeser perspektif metafisika, menganti kepastian dengan kemungkinan, mengganti rasionalisme dengan kecenderungan umum, dan deskripsi dengan distribusi dan ukuran penyebaran,mengecilkan hipotesis intuitif dengan hipotesis empiris yang didasarkan pada observasi.

Gabriel A. Almond, karyanya “Structural Fungtional Analysis” Inti pemikiranya yaitu berpangkal tolak dari meneropong masyarakat secar keseluruhan (Macro Analysis) yaitu mengkaji interaksi dan hubungan antara unsur masyarakat.

POLITIK : PEMBANGUNAN VS. KEMEROSOTAN

Sejak terjadinya perubahan cepat dan besar-besaran atas banyak pemerintahan di dunia sesudah perang dunia kedua yang banyak meruntuhkan kekuasaan kolonial dan banyak melahirkan negara merdeka, muncullah sejumlah besar pemerintahan – pemerintahan baru yang bentuknya beraneka ragam dan sering berubah dalam waktu singkat. Sehingga masalah utama: bentuk pemerintahan apa yang sesuai dan paling baik dinegara-negara baru itu.

Malangnya, tidak ada jawaban yang sederhana dan realistis untuk memecahkan masalah tersebut. Awalnya banyak yang mencoba melestarikan konsep politik lama warisan kolonial dengan hanya sedikit melakukan perubahan sedangkan beberapa negara lain mencoba melakukan perubahan yang radikal.

Fakta kemudian menunjukkan bahwa pada prakteknya mereka banyak menemui kegagalan, ketidakstabilan, beberapa bentuk pemerintahan mengalami keadaan eksperimental, trial and error (Coba-coba), perubahan dan berlaku secara singkat. Mulai dari tipe pemerintahan barat, parlementer, presidensil, satu partai, multi partai, pemerintahan militer, fasis, komunis dan varian-varian lainya. Semuanya itu menunjukan pelitnya mencari jalan proporsional ataupun terbaik terhadap sistem pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan sosial, politik, budaya, ekonomi masyarakatnya sendiri.

Pada waktu yang sama dunia setelah perang dunia kedua diwarnai dengan konstelasi politik yang mengalami perubahan yang sangat drastis. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum perang yang relatif stabil, sistem sosial yang konvensional – relatif modern, ekonomi yang tumbuh terbatas, orientasi politik yang moderat, satu warna dan minim fokus. Sesudah perang mulailah bermunculan banyak kekuatan yang berkompetisi dan mendesakkan proyek politiknya terhadap berbagai dimensi dalam sebuah sistem politik. Wacana perubahan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial merupakan bias dalam satu sisi dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan didalam berbagai bidang seperti bidang komunikasi dan informasi, alat perang, industri dan sebagainya.

Konstelasi sosial, politik, ekonomi, budaya yang mengalami serangkaian perubahan cepat dan massif dalam dasawarsa tahun 50-an. Dr. Mochtar Mas`oed dalam bukunya “Negara, Kapital dan Demokrasi“ memberikan ulasan deskripsi singkat mengenai fenomena perubahan konstelasi politik sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Awalnya pada era tahun 40-an keadaan sosial politik negara cenderung stabil, efektif, ekonomi tumbuh relatif normal, orientasi politk minim sebagai akibat respon positif akan kondisi real pada saat itu dimana semua komponen sistem politik dalam negara bersatu untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah ”Kolonialisme”, tidak ada kepentingan yang tidak saling mendukung antara infrastruktur politik dalam hal ini kelompok kepentingan, tokoh masyarakat, partai, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, rakyat horisontal, elit tradisional dll. dengan suprastruktur politik yaitu mesin politik berupa alat-alat perlengkapan negara meskipun hanya berjalan secara nonformal dan tidak diakui. Pada kondisi inilah disebut “Conditio Sine Quo None” yaitu kondisi yang menyebabkan persatuan dan kesatuan dimana ada satu musuh bersama yang menjadi titik konsentrasi dan akar dari setiap masalah yang dihadapi setiap komponen bangsa dan negara yaitu penjajahan. Sesudah perang dunia kedua, telah banyak negara memperoleh kemerdekaanya dari penjajah para era tahun 50-an. Kemerdekaan ini ditandai dengan kesanggupan dari aktor sistem politik menentukan sikap politik, ideologi, bentuk pemerintahan dan tujuan-tujuan negara beserta kelengkapanya. 

Pada kondisi inilah partisipasi politik berbagai kelompok politik berakumulasi dalam memformulasi kepentingan politiknya dalam mengisi kemerdekaan dengan kelengkapan negara yang dibutuhkan. Terbukti mulai terjadi keterpecahan, ketidakstabilan, inefektifitas bahkan perombakan sistem politik secara besar-besaran dalam waktu yang cepat seperti parlementer/ presidentill, satu partai /multi partai, barat atau timur beserta varian-varian lainya. Skala inilah politik banyak dibicarakan pada tingkat kenegaran beserta institusi serta konstitusinya melalui pendekatan institusionalisme, seolah medium dan centrum pembicaraan politik real adalah “Negara” yang banyak mengalami pergulatan dan perubahan sesuai tuntutan politis, ekonomi, budaya dan sosialnya sendiri.

Pendekatan ini akhirnya berubah pada era tahun 70-an dimana fokus pembicaraan politik mengarah pada pendekatan keilmuan secara sistemik dimana rakyat, individu, unsur masyarakat menjadi objek kajian politik secara serius dikarenakan banykanya partisipasi, perubahan tuntutan dan dukungan dari rakyat bawah dalam membangun politik negara. Pertanyaan yang selalu muncul dalam kondisi seperti inilah yang melahirkan pertanyaan tentang sistem politik yang seperti apa yang terbaik ataupun proporsional dan mumpuni untuk diterapkan oleh negara-negara yang baru berkembang dan merdeka agar tercipta sebuah tertib politik, modernisasi politik, stabilitas dan efektifitas politik dll. Darimana kita mesti memulai sebuah pembangunan politik yang konsepsinya mampu menjawab keresahan kepentingan dari setiap aktor politik dalam berbagai dimensi baik politik, ekonomi, budaya, sosialnya sendiri sampai pada tataran praksis. Salah satu pemikir yang getol dalam mengkaji teori-teori transisi yaitu: Samuel P. Huntington, keterlibatanya dalam mencurahkan pemikiran seputar kajian fenomenologis tentang realitas perubahan politik dunia ketiga, perubahan sistem politik, tertib politik, pembangunan politik dan sebagainya.

Adalah S.P. Huntington yang berkata bahwa banyak studi tentang negara-negara baru telah mengabaikan pertumbuhan lembaga-lembaga politik dan sebaliknya telah memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan dalam masyarakat. Prof. Huntington mengkritik tendensi ini,sebap perubahan sosial yang pesat dapat merusak pembangunan politik. Hanya partai-partai yang kuat merupakan alternatif dari ketidakstabilan yang disebabkan oleh perubahan sosial yang pesat.

S.P. Huntington dan Pembangunan Politik: “Diantara hukum-hukum yang mengendalikan masyarakat manusia” kata de Tocqueville,” ada sebuah hukum yang nampaknya lebih tepat dan jelas daripada hukum-hukum yang lain. Bilamana manusia ingin tetap menjadi beradab, maka seni untuk hidup bergaul bersama harus tumbuh dan disempurnkan sesuai dengan peningkatan persamaan kondisi. Huntington mengutip pernyataan ini dalam tulisanya tentang “pembangunan politik dan kemerosotan politik” yang menjadi bagian kajian analitiknya terhadap masalah-masalah pembangunan politik serta memberikan formulasi konseptual tentng tujuan pembangunan politik dinegara-negara berkembang dan baru merdeka. Analisis terhadap tujuan pembangunan politik tersebut ialah sebagai berikut :

1. Stabilitas Politik Untuk Pembangunan Politik

Kebanyakan negara duna sekarang ini, persamaan dalam partisipasi politk berkembang jauh lebih cepat daripada tumbuhnya Seni untuk hidup bersama” tempo kecepatan mobilisasi dan partisipasi politik lebih cepat ketimbang kemampuan menginstitusikan dan kengorganisasikanya. Dalam masyarakat seperti ini,mobilisasi dan pengembangan mengalami pertentangan yang tajam yang real dalam politik. 

Stabilitas politik akan tercapai apabila telah terbangun seni untuk hidup bersama tadi dimana tidak hanya diukur dari modernisasi politik yang berbicara tidak hanya pada skala politik konvensional yaitu dari adanya interaksi mutualis antar individu dan membentuk kelompok kecil yang sevisi dan bergerak untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.

Sorotan pada mobilisasi dan partisipasi politik dalam modernisasi sistem sosial politik menuntut adanya rasionalisasi, integrasi dan demokratisasi untuk melahirkan “masyarakat partisipatif“ yang membedakan masyarakat tradisional. Tujuan ini tercapai apabila terdapat stabilitas politik melalui penguatan institusi politik dalam mengatur ruang tindak politik masyarakat. Partai politik dalam hal ini menjadi sorotan dalam menginstitusikan partisipasi politik,jembatan emas antara masyarakat sampai kepada mesin politik negara sehingga memerlukan ketertiban,stabilitas politik dan keseimbangan antara partisipasi politik dengan institusi politik.

2. Demokrasi

Tujuan pembangunan politik adalah melahirkan ciri-ciri umum lahirnya pembangunan politik menuju modernisasi politik. Bila Karl Deutsch menekankan definisi modernisasi pada mobilisasi sosial, peningkatan standar intelektualitas, urbanisasi, keterbukaan, media massa, industrialisasi, pendapatan percapita, perluasan basis masyarakat yang relevan secara politis, memperbanyak tuntutan pelayanan kepada pemerintah, peningkatan kemampuan institusi pemerintah, perluasan kaum elit, pertambahan partisipasi elit dan pergeseran perhatian dari tingkat daerah ke tingkat nasional. Huntington memahami dan menyepakati konsep ini dalam tataran ideal konseptual atau pada cita-cita. Namun Huntington lebih menyoroti konsep ini sebagai sesuatu yang sangat arbiter (api cita-cita) dimana tidak mampu memberikan mekanisme kongkret yang mendekatkan antara idealitas dan realitas. Masyarakat demokratis seperti dicirikan diatas hanya mungkin tercapai ketika disertai kehandalan institusi politik mengakomodir semua partisipasi politik tersebut.

Mobilisasi sosial dan partisipasi politik berkembagan pesat di Asia dan Afrika namun semua itu mengalami kemunduran lembaga-lembaga politik pada wilayah itu, peningkatan ekonomi belum tentu mengstabilkan sosial, industrialisasi dan urbanisasi belum tentu memenuhi semua tuntutan, kemampuan intelektualitas justru hanya mengakibatkan banyaknya tuntutan masyarakat ketimbang dukungan atau konstribusinya sehingga yang terjadi adalah “Revolusi kekecewaan yang massiv”.

Pada taraf ini Huntington menginginkan demokratisasi yang semua idealitas konseptual diatas bisa direalisasikan dengan tidak hanya menyorot pada kondisi-kondisi sosial yang modern dalam sistem politik yang demokratis tetapi bagaimana menemukan mekanisme kongkret yang dapat mempertemukan idealitas dengan realitas secara linear, balance dan harmonis melalui indikator besarnya tuntutan masyarakat disertai besarnya dukungan serta konstribusi masyarakat terhadap lembaga politik untuk memajukan dan melaksanakanya.

3. Pertumbuhan Ekonomi

Kebanyakan negara yang sedang berkembang sekarang sedang mengimpor modernisasi politik secara massif namun melupakan lembaga politik yang kian merosot termasuk program industrialisasi, urbanisasi, edukasi. Peningkatan secara cepat dan massiv pada ketiga perangkat ini ternyata tidak memberikan jaminan lahirnya sebuah masyarakat demokratis dan berkeadilan dalam kemakmuran.

Persoalan yang muncul adalah modernisasi pada tiga perangkat tersebut yang bernilai ekonomis ternyata tidak disertai dengan kesanggupan masyarakat tradisional dan lembagalembaga tradisionalnya untuk adaptif terhadap modernisasi bahkan yang muncul adalah semakin tajamnya perpecahan antara lembaga masyarakat tradisional dan lembaga modern sehingga terdapat kesenjangan antara kota dan desa, kemerosotan moral dengan lahirnya birokrat korup, lahirnya budaya masyarakat korup, meningkatnya kekuatan sosial yang merusak. Menurut Lucian Pye:” Mengharapkan kemampuan sebuah bangsa untuk membuat dan membentuk organisasi yang luas, kompleks dan fleksibel sesuai kebutuhan sosial politis masyarakat“.

Persoalan ekonomi menurut Huntington adalah bagaimana kita memformulasi konsep ekonomi yang menjamin kemajuan dan keadilan tanpa merusak lembaga tradisional yang justru menjadi penghambat lahirnya demokratisasi dan kemakmuran ekonomi. Modernisasi lembaga tradisional tidak mesti membunuh lembaganya termasuk persoalan modernisasi pada bidang ekonomi tetap mengikutseretakan rakyat secara real dan produktif disertai kompleksitas dan felsibilitas lebaga dalam mengaturnya.

4. Otonomi Nasional

Serupa dengan yang dibahasakan seperti diatas,bahwa proyek impor agenda pembangunan politik berupa industrialisasi, edukasi, urbanisasi, mobilisasi sosial, partisipasi sosial, pemapanan tuntutan sosial, pemapanan institusi pemerintah dan sebagainya harus disertai kesiapan masyarakt dalam membangun partisipasi dan institusi politiknya menuju kompleksitas yang fleksibel dalam mengatur semua agenda tersebut.

Huntington dalam usahanya mengkaji konsepsi tentang linearitas,harmonitas antara pesatnya mobilisasi dan partisipasi serta urgensi modernisasi politik terhadap sistem politik menuju kedinamisan sistem politik dan tidak mengalami stagnasi bahkan kehancuran pada institusi seperti yang banyak terjadi di Asia dan Afrika pada dekade tahun 50-70-an terlihat dari konsepsinya yang menginginkan setiap agenda modernisasi pembangunan politik menemukan titik otonomnya secara real dan rasional serta fleksibel dimana antara tuntutan, dukungan serta kesanggupan institusi melaksanakanya menjadi sebuah paket yang nyambung, sistematis, realistis dan meminimalkan resiko chaos politis.

Pada modernisasi politik, Huntington menginginkan konsep politik otonom dengan meniadakan kesenjagan proyek politik modernisasi dengan reduksi atau mengasingkan pemikiran, masyarakat dan lembaga tradisional sehingga tidak melahirkan perpecahan antara agen modernisasi politik dengan masyarakt horisontal, pada persoalan politik tidak terjadi kesenjangan antara peran politik kota dan desa, antara masyarakat birokrat dengan masyarakat desa. 

Organisasi politik yang ideal menurut Seydou Kouyete haruslah merupakan organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah perpaduan dimana masyarakt kota dan desa, nasional dan internasional, bertemu disatu titik. Ia harus mampu membuka keterasingan masyarakat kultur horizontal menuju kesatuan nasional yang kian memperkokoh keberadaanya. Sehingga jurang pemisah antara moderniosasi dengan tradisonal, kota dan desa, kesenjagan ekonomi dll. dipertemukan secara positif menuju kesatuan visi-visi politis secara utuh dan menyeluruh.




Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google