Jumat, 19 Agustus 2011

Budaya Proletar

AnehAjaib. 


APAKAH BUDAYA PROLETAR ITU, DAN MUNGKINKAH ADA?

Setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri, dan karenanya juga menciptakan seni mereka sendiri. Sejarah telah menyaksikan adanya budaya-budaya perbudakan dari Timur dan keantikan budaya klasik, budaya feodal Eropa zaman pertengahan dan budaya borjuis yang saat ini memerintah dunia. Berangkat dari sinilah terdapat pemikiran bahwa kaum proletar juga harus menciptakan budaya dan seninya sendiri.

Pertanyaan yang muncul ternyata tak sesederhana seperti apa yang kita lihat pertama kali. Masyarakat dimana pemilik budak adalah kelas penguasa, bertahan dalam abad-abad yang panjang. Begitu juga yang terjadi dengan feodalisme. Budaya borjuis, jika kita menghitungnya mulai dari masa manifestasinya yang terbuka dan bergolak, yaitu mulai dari periode Renaissance, telah bertahan selama lima abad, tapi baru mencapai puncak perkembangannya mulai abad ke 19, atau lebih tepatnya separuh abad 19. Sejarah menunjukkan bahwa formasi sebuah kebudayaan baru yang berpusat di sekitar kelas penguasa menuntut waktu yang lumayan dan mencapai puncaknya pada periode sebelum dekadensi politik kelas tersebut.

Dapatkah proletar memiliki cukup waktu untuk menciptakan sebuah budaya “proletar”? Sebagai kebalikan dari rezim perbudakan, bangsawan-bangsawan feudal, dan borjuis, kaum proletar menganggap kediktatorannya sebagai periode transisi yang singkat. Saat kita menolak kesemua pandangan-pandangan yang terlalu optimistik mengenai transisi menuju sosialisme, maka kita menunjukkan bahwa periode revolusi sosial , dalam skala dunia, tidak akan berakhir dalam hitungan bulan ataupun tahun, tetapi berdekade-dekade, tetapi tidak sampai berabad-abd, dan tentunya tidak dalam ribuan tahun. Bisakah kaum proletar pada saat ini menciptakan sebuah budaya baru? Sah-sah saja jika kita meragukannya, karena tahun-tahun revolusi akan menjadi tahun-tahun perjuangan kelas yang kejam yang mana perusakan akan mengambil posisi yang lebih besar dibandingkan pembangunan yang baru. Pada semua tingkatan, energi kaum proletar sendiri akan terserap habis terutama dalam merebut kekuasaan, dalam menjaga dan memperkuatnya dan dalam menerapkannnya pada kebutuhan-kebutuhan eksistensi yang paling mendesak dan perjuangan lebih lanjut. Tetapi kaum proletar akan meraih tensi tertinggi dan manifestasi terpenuhnya dalam sifat-sifat kelasnya selama periode revolusioner ini dan ini akan berada dalam batasan-batasan sempit dimana kemungkinan rekonstruksi budaya yang sangat terencana akan terhambat.

Di pihak lain, ketika rezim baru ini menjadi begitu dijauhkan dari kejutan-kejutan militer dan politik dan ketika kondisi-kondisi bagi penciptaan budaya semakin dimungkinkan, kaum proletar akan semakin mencair ke dalam sebuah masyarakat sosialis dan akan membebaskan dirinya sendiri dari karakter-karakter kelasnya dan karenanya berhenti menjadi kelas proletariat. Dengan kata lain, bisa jadi tak ada pertanyaan mengenai penciptaan sebuah budaya baru, yaitu, dari konstruksi pada sebuah skala historis yang besar selama periode kediktatoran. Rekonstruksi budaya, yang akan dimulai saat kebutuhan akan kediktatoran bertangan besi yang tak pararel dalam sejarah menghilang, tidak akan memiliki karakter kelas lagi. Ini tampaknya menggiring kita pada satu kesimpulan bahwa tak ada budaya proletar dan bahwa tak akan ada alasan untuk menyesalinya. Kaum proletar meraih kekuasaan dengan tujuan menghindari budaya kelas selama-lamanya dan untuk membuat jalan bagi budaya manusia. Kita seringkali terlihat seakan-akan melupakannya.

Pembicaraan yang tak jelas mengenai budaya proletar, sebagai anti tesa terhadap budaya borjuis, menyediakan tempat untuk identifikasi yang sangat tidak kritis terhadap keniscayaan sejarah proletariat dan kaum borjuis. Metode liberal murni yang dangkal dalam membuat analogi-analogi bentuk-bentuk historis tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan Marxisme. Tidak terdapat analogi riil antara perkembangan sejarah kaum borjuis dan kelas pekerja.

Pembangunan kebudayaan borjuis dimulai beberapa abad sebelum mereka meraih kekuasaan negara dalam genggaman tangannya dengan melalui serangkaian revolusi. Bahkan ketika borjuis hanyalah warga negara kelas tiga, yang hampir kehilangan hak-haknya, mereka memainkan bagian pertumbuhan yang terus menerus dan besar dalam semua lapangan budaya. Ini terutama tampak jelas dalam kasus arsitektur. Gereja-gereja Gothic tidaklah dibangun dengan tiba-tiba, dibawah denyutan inspirasi religius. Pembangunan kathedral Cologne, arsitektur serta patungnya, merangkum pengalaman arsitektural umat manusia sejak dari masa ketika hidup di gua serta menggabungkan elemen-elemen pengalaman ini dalam sebuah gaya baru yang mengekspresikan budaya dari masanya sendiri, yang pada analisa akhir, mengekspresikan struktur dan tekhnik sosial periode itu. Gilda-gilda pra-borjuis lama merupakan pembangun nyata aliran Gothic. Saat mereka bertumbuh dan bersinar kuat, yaitu, saat semakin kaya, kaum borjuis melewati tahapan Gothic secara sadar dan aktif dan menciptakan gaya arsitekturalnya sendiri, bukan untuk gereja, tetapi untuk istana-istana mereka sendiri.

Dengan dasar di Gothic, arsitektur ini berbelok ke zaman kuno, terutama ke arsitektural Roma dan kaum Moorish, dan menerapkan semuanya pada kondisi-kondisi dan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat kota baru, yang selanjutnya memicu adanya Renaissance (Italia pada akhir seperempat pertama abad lima belas). Para spesialis dapat menghitung elemen-elemen yang Renaissance ambil dari zaman kuno dan mana yang dari Gothic dan dapat berargumen pihak mana yang lebih kuat pengaruhnya. Tetapi Renaissance hanya dimulai saat sebuah kelas sosial baru, yang secara kultur sudah terbentuk penuh, merasa dirinya cukup kuat untuk keluar dari kungkungan arsitektur Gothic, untuk memandang pada seni Gothic dan semua yang datang sebelumnya sebagai material bagi penghapusannya sendiri, dan untuk menggunakan tekhnik masa lalu bagi tujuan-tujuan artistiknya sendiri. Ini juga menunjuk pada semua bentuk seni lainnya, tapi dengan perbedaan, bahwa karena fleksibilitas mereka yang lebih besar, yaitu, pada ketergantungan mereka yang semakin kecil pada tujuan-tujuan utilitarian dan material-material, maka seni yang “bebas” tidak menyatakan dialektika-dialektika gaya-gaya suksesif dengan dengan logika tegas seperti arsitektur.

Dari zaman Renaissance dan Reformasi, yang menciptakan kondisi intelektual serta politik yang lebih memungkinkan bagi kaum borjuis dalam masyarakat feodal, sampai zaman revolusi yang memindahkan kekuasaan pada pihak borjuis (di Prancis), terjadi tiga atau empat abad perkembangan dalam kekuatan intelektual dan material borjuis. Revolusi Besar Prancis dan perang-perang yang muncul darinya secara temporer merendahkan level materi budaya. Tapi sesudahnya rezim kapitalis menjadi terbentuk sebagai kekuatan yang “alami” dan “abadi”. Jadi proses-proses fundamental dalam perkembangan budaya borjuis dan kristalisasinya ke dalam gaya ditentukan oleh karakter-karakter borjuis sebagai kelas penindas dan pemilik. Kaum borjuis tidak hanya berkembang secara material di dalam masyarakat feodal, yaitu dengan memindahkan kekayaan yang menggoda ke dalam tangannya melalui berbagai cara, tetapi mereka merangkul kaum intelektual ke dalam kubunya serta menciptakan dasar budaya mereka (sekolah-sekolah, universitas, akademi, koran, majalah) jauh sebelum mereka secara terbuka mengambil kepenguasaan negara. Kita cukup mengingat bahwa borjuis Jerman, dengan tekhnologinya yang tak tertandingi, filsafat, ilmu pengetahuan dan seni, mengijinkan kekuasaan negara untuk berbaring pada tangan sebuah kelas birokratik feodal selambat-lambatnya 1918 dan memutuskan, atau lebih tepatnya, dipaksa untuk merebut kekuasaan pada tangannya hanya pada saat dasar material dari kebudayaan Jerman mulai terpecah-pecah.

Tetapi seseorang bisa menjawab: membutuhkan ribuan tahun untuk membentuk seni zaman perbudakan budak dan hanya ratusan tahun untuk menciptakan seni borjuis. Tidak bisakah, karenanya, seni proletar diciptakan dalam waktu 10 tahun? Basis-basis tekhnis kehidupan tidaklah sama sekali dengan masa kini dan karenanya temponya juga berbeda. Pertanyaan tersebut, yang pada awalnya terasa meyakinkan, dalam kenyataannya melupakan akar permasalahan. Tidak bisa diragukan, dalam perkembangan masyarakat baru, masanya akan datang saat ilmu ekonomi, kehidupan budaya dan seni akan menerima impuls-impuls terbesar ke depan. Sekarang kita hanya bisa menciptakan impian-impian tentang tempo mereka. Dalam sebuah masyarakat yang akan menyingkirkan ketakutan dan kekhawatiran yang melemahkan semangat mengenai roti seseorang setiap hari, yang didalamnya restauran komunal akan menyiapkan makanan lezat, makanan berselera dan sehat untuk masyarakat pilih, laundri-laundri komunal akan membersihkan kain-kain linen indah milik semua orang, anak-anak, semua anak-anak, akan dipenuhi kebutuhan pangannya dengan baik sehingga kuat dan sehat, dan mereka akan mengambil elemen-elemen mendasar ilmu pengetahuan dan seni seperti mereka mendapatkan albumen, udara dan kehangatan matahari, dalam sebuah masyarakat dimana listrik dan radio tidak akan menjadi keahlian khusus bagi mereka saat ini, tetapi berasal dari sumber kekuatan super yang tak pernah lelah dengan menekan sebuah tombol utama, di mana tidak akan terdapat "mulut yang tak berguna," di mana keegoisan liberal dari kekuatan adikuasa!” akan diarahkan seluruhnya pada pemahaman, transformasi dan perbaikan alam semesta –dalam masyarakat yang demikian pembangunan dinamis kebudayaan tak akan tertandingi oleh semua pembangunan di masa sebelumnya. Tetapi kesemuanya hanya akan datang sesudah sebuah pendakian, yang panjang dan sulit, yang masih menghadang kita didepan. Dan kita saat ini terbukti sedang membicarakan periode-periode pendakian tersebut.

Tetapi tidakkah momen saat ini dinamis? Ya, sangat betul memang. Tetapi kedinamisan ini terpusat pada politik. Perang dan revolusi memang dinamis, tetapi dengan biaya tekhnologi serta budaya. Adalah benar bahwa perang telah menghasilkan deretan panjang penemuan-penemuan tekhnologi. Tetapi kemiskinan yang perang hasilkan telah menghentikan penerapan praksis dari penemuan-penemuan ini untuk waktu yang lama dan karenanya juga menghentikan kemungkinan keberadaan mereka dalam kehidupan yang revolusioner. Ini menunjuk pada radio, aviasi, dan banyak penemuan-penemuan mekanis lainnya.

Pada pihak lain, revolusi memberikan landasan bagi adanya sebuah masyarakat baru. Tetapi ini dilakukan dengan metode masyarakat lama, dengan perjuangan kelas, dengan kekerasan, penghancuran dan pemunahan. Jika revolusi proletar tidak datang, umat manusia akan tercekik dalam pertentangannya sendiri. Revolusi menyelamatkan masyarakat dan budaya, tetapi dilakukan melalui pembedahan yang paling kejam. Semua kekuatan aktif dikonsentrasikan ke dalam politik dan perjuangan revolusioner, segala sesuatu yang lain didorong kembali ke dalam latar belakangnya dan semua halangan akan dilindas. Dalam proses ini, tentu saja terdapat pasang dan surut; komunisme militeristik memberikan tempat bagi NEP, yang sebaliknya, dilewati melalui beberapa tahapan.

Tetapi dalam esensinya, kediktatoran proletariat bukanlah sebuah organisasi untuk pemproduksian budaya bagi sebuah masyarakat baru, tetapi merupakan sebuah sistem militeristik dan revolusioner yang berjuang untuk ini. Ini tidak boleh dilupakan. Kita berfikir bahwa sejarawan masa depan akan menempatkan titik kulminasi masyarakat lama pada tanggal 2 Agustus 1914, saat kekuatan budaya borjuis membiarkan dunia terjerumus ke dalam darah dan api perang imperialistik. Awal dari sejarah baru umat manusia akan dikenang pada momen 7 November 1917. Tahapan-tahapan dasar perkembangan manusia yang kita percayai akan terbentuk adalah sebagai berikut: ‘sejarah’ pra historic manusia primitif; sejarah kuno, yang kebangkitannya didasarkan atas perbudakan; Abad-abad pertengahan, didasarkan pada kepemilikan tanah; kapitalisme, dengan exploitasi upah bebas; dan akhirnya masyarakat sosialis, dengan transisi ke dalam komunitas tanpa negara yang kita harapkan tak menyakitkan. Dua puluh, tiga puluh, atau lima puluh tahun lagi revolusi proletar dunia akan turun dalam sejarah sebagai pendakian yang tersulit dari satu sistem ke sistem yang lain, tetapi sama sekali bukanlah sebuah era yang independen dari budaya proletar.

Sekarang, tahun-tahun untuk mengambil nafas dan beristirahat sejenak, beberapa ilusi mungkin muncul dalam Republik Soviet dalam hubungannya dengan hal ini. Kita telah menempatkan pertanyaan-pertanyaan budaya pada keteraturan hari. Dengan memproyeksikan masalah-masalah kita sekarang pada masa depan yang jauh, seseorang dapat berfikir sendiri mengenai deretan tahun-tahun yang panjang menuju budaya proletar. Tetapi tidak peduli sepenting dan seurgen apapun pembangunan budaya kita nantinya, ini sepenuhnya didominasi oleh pendekatan revolusi Eropa dan dunia. Kita, seperti sebelumnya, merupakan prajurit-prajurit dalam sebuah perjalanan panjang. Kita sedang berkemah barang sehari. Pakaian kita harus dicuci, rambut kita harus dipangkas dan disisir, dan, yang terpenting dari kesemuanya, senapan kita harus dibersihkan dan diminyaki. Keseluruhan ekonomi dan kerja-kerja budaya saat ini tidak lebih penting dari penyerahan diri kita ke dalam dua pertempuran dan dua perjuangan. Pertempuran-pertempuran prinsipil menghadang didepan, mungkin tidak terlalu lama lagi. Masa kita belumlah sebuah masa bagi kebudayaan baru, tetapi hanya tangga menuju kesana. Kita harus, pertama kali, merebut kepemilikan, secara politis, elemen terpenting budaya lama, sampai satu tingkatan, setidaknya, mampu untuk mengahaluskan jalan bagi sebuah kebudayaan baru.

Ini terutama menjadi jelas ketika seseorang menganggapnya seperti seharusnya, yaitu dalam karakter-karakter internasionalnya. Kaum proletar bukanlah kelas yang menguasai kepemilikan. Ini sendiri sangat menjauhkan kaum proletar dari kemungkinan untuk menguasai elemen-elemen budaya borjuis yang telah memasuki inventarisasi umat manusia untuk selama-lamanya. Dalam pengertian tertentu, bisa dibenarkan jika seseorang berkata bahwa kaum proletar juga, setidaknya proletariat Eropa, memiliki masa perubahannya sendiri. Era tersebut muncul pada pertengahan kedua abad 19 saat, tanpa melakukan sebuah tindakan terhadap kekuasaan negara secara langsung, mereka meraih kondisi-kondisi legal perubahan yang lebih bisa diterima di bawah sistem borjuis.

Tetapi, yang pertama kali harus diperhatikan, periode ‘reformasi’ ini (parlementarianisme dan perubahan sosial), yang utamanya berhubungan dengan periode sejarah Internasionalisme Kedua, hanya memberikan kaum proletar waktu yang demikian panjang seperti halnya apa yang mereka berikan pada borjuis di masa sebelumnya. Yang kedua, kaum proletar, selama periode persiapan ini, tidak semuanya menjadi sebuah kelas  yang lebih makmur dan tidak juga mengkonsentrasikan kekuatan material pada tangannya. Sebaliknya, dari cara pandang budaya dan sosial, mereka terus menerus menjadi semakin tidak beruntung. Kaum borjuis mulai berkuasa dengan dipersenjatai secara penuh oleh kebudayaan di masanya. Kaum proletar, pada pihak lain, berkuasa dengan dipersenjatai secara penuh dengan kebutuhan yang akut akan penguasaan budaya. Permasalahan yang dihadapi proletariat yang telah merebut kekuasaan terdiri dari, pertama, bagaimana menggenggam aparatur-aparatur budaya –industri, sekolah, publikasi, pers, teater, dan lain sebagainya.-yang tidak berpihak padanya sebelumnya, dan karenanya membuka lintasan bagi budaya mereka sendiri.

Tugas kita di Rusia diperumit oleh kemiskinan tradisi budaya secara menyeluruh dan oleh penghancuran material yang dikarenakan oleh kejadian-kejadian pada dekade terakhir. Setelah pengambilan kekuasaan dan sesudah hampir sembilan tahun perjuangan untuk retensi dan konsolidasi, kaum proletar kita dipaksa untuk mengerahkan seluruh energinya pada penciptaan kondisi-kondisi paling mendasar dari eksisensi material dan penciptaan hubungan dengan ABC budaya -ABC dalam pengertian kata yang sesungguhnya dan literal. Bukannya untuk tujuan kosong jika kita membebani diri kita sendiri dengan tugas memiliki kesusastraan universal pada peringatan tahun kesepuluh rezim Soviet.

Mungkin seseorang keberatan bahwa saya menaruh konsep budaya proletar dalam sebuah pengertian yang terlalu luas. Mungkin tak kita temukan budaya proletar secara penuh dan lengkap, tapi kelas pekerja bisa memberi tanda keberadaannya dalam budaya sebelum mereka luruh dalam sebuah masyarakat komunis. Keberatan seperti demikian pertama kali harus di daftar sebagai sebuah kemunduran serius dari sebuah posisi dimana budaya proletar dimungkinkan kedatangannya. Tidak perlu dipertanyakan bahwa kaum proletar, di masa kediktatorannya, akan mensinyalkan keberadaannya pada lapangan kebudayaan. Tetapi kedatangan budaya proletar masihlah jauh, dalam pengertian jika yang dimaksud sebagai budaya adalah sistem pengetahuan yang harmonis dan sudah berkembang dan seni dalam keseluruhan lapangan kerja spiritual dan material. Dikuasainya baca tulis dan aritmetika oleh sepuluh juta manusia dalam sejarah untuk pertama kali adalah sebuah fakta budaya baru yang betul-betul luar biasa. Esensi budaya baru tidak akan lagi berkutat dalam budaya aristokratik yang hanya dimengerti oleh sebuah kelompok minoritas dengan privilese, tetapi sebuah budaya massa, sebuah budaya yang universal dan populer. Kwantitas akan bergerak menuju kwalitas; dengan pertumbuhan kwantitas budaya akan datang sebuah kenaikan dalam level dan perubahan dalam karakternya. Tetapi proses ini akan berkembang hanya melalui serangkaian tahapan-tahapan historis. Dalam tingkatan dimana proses tersebut berhasil dengan baik, ini akan melemahkan karakter kelas kaum proletar dan dalam perjalanannya ini akan menghapus basis budaya proletar.

Bagaimana dengan tingkatan teratas dari kelas pekerja? Bagaimana dengan garda depan revolusionernya? Tidak bisakah seseorang berkata bahwa sebuah perkembangan budaya proletar sedang terjadi saat ini meskipun dalam lingkup yang sempit? Bukankah kita mempunyai Akademi Sosialis? Profesor merah? Beberapa orang salah dalam menaruh pertanyaan ini dalam pengertian yang demikian yang abstrak. Ide seperti ini seolah-olah mengatakan bahwa adalah mungkin untuk menciptakan budaya proletar dengan metode-metode laboratorium.

Faktanya, tekstur budaya terjalin pada pada titik-titik di mana hubungan-hubungan dan interaksi-interaksi intelegensia sebuah kelas dan kelas lain bertemu. Budaya borjuis-tekhnis, politis, filosofis dan artistik, dibangun melalui interaksi borjuis dan para penemu-penemu, pemimpin-pemimpin, pemikir-pemikir dan penulis-penulis puisinya. Pembaca menciptakan penulis dan penulis menciptakan pembaca. Ini memang benar dalam tingkatan proletariat yang lebih besar, karena ekonomi, politik dan budayanya hanya bisa dibangun di atas dasar aktivitas kreatif massa.

Tugas utama kaum intelektual proletar dalam waktu mendatang bukanlah pembentukan sebuah budaya baru secara abstrak tanpa memperhitungkan ketiadaan dasar bagi ini semua, tetapi lebih pada penentuan budaya secara tepat, yaitu dalam bentuk penanaman yang kritis, berencana dan sistematis kepada massa yang terbelakang mengenai elemen-elemen esensial budaya yang sudah ada. Mustahil untuk menciptakan sebuah budaya kelas dibelakang punggung sebuah kelas. Dan untuk membangun kebudayaan melalui kerjasama dengan kelas pekerja dan dalam kontak yang dekat dengan kemunculan.


  

Source: Leon Trotsky "What Is Proletarian Culture, and Is It Possible?" (1923)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google